Jurnal Trip Flores (Part 5)

Senin, 23 Februari 2015


Setelah divonis bebas untuk berekspresi, dibukalah sesi tanya jawab. Kami pun bertanya tentang suku Wae Rebo dan Mbaru Niang ini. Si bule penasaran sejak kapan berdirinya mbaru niang ini, kata Pak Kanisius mbaru niang ini sudah 18 generasi, si bule takjub gak percaya. Bentuk kerucut karena sudah warisan leluhur dan agar tahan pada saat musim hujan dan diyakini akan lama diganti pengatapannya dengan bentuk kerucut ini.

Oia, di tiang depan pintu masuk, ada terikat alat musik semacam gendang atau gong. Alat musik itu dipakai saat perayaan tahun baru. Tapi tahun baru di kampung ini tidak mengikut dengan kalender Masehi melainkan pada setiap tanggal 15 November dan acara dimulai pada tanggal 16 November dengan menyanyi diiringi alat musik tadi serta beberapa acara adat menyambut masa menanam. Ya, alasan mengapa 15 November karena pertengahan bulan dimana peralihan musim kemarau ke musim hujan (menanam di tahun yang baru). Tanggal 15 November juga karena sudah membudaya dan bagi warga desa ini masih tetap menganggap 1 Januari sebagai tahun baru juga kok tapi secara administrasi saja katanya. Makanya, kalau ingin mengunjungi Wae Rebo, disarankan tanggal 16 November untuk bisa melihat acara adatnya.
                 
Setelah sedikit tanya jawab karena hari sudah mulai gelap, kami bertiga diantar oleh Mba Pela’ dari Mbaru Tembang istilah untuk rumah utama ke Mbaru khusus tamu. Di dalam Mbaru tamu ini sudah ada rombongan terdiri 3 orang yang adalah utusan instansi pemerintah yang melakukan peninjauan untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga hidro dari ITB. Setelah kami, datang lagi rombongan 3 bule ; 1 cowok dan 2 cewek serta 2 cowok guidenya. Rombongan mereka sempat kami lihat waktu di terminal, tau gitu bareng aja kali ya, soalnya dengar-dengar mereka hanya naik Oto yang jeda waktu kami ke sini tidak terlalu lama padahal saya dan Widya start duluan, pake bis lagi. Setelah tanya sama guidenya si bule, kalau naik Oto pakai jalur selain yang kami lewati dan memang lebih cepat tapi ya kenyamanan lagi. 

Suasana dalam Mbaru Tembang

Di rumah khusus tamu ini, baru dah kami kenalan sama si bule Jerman, namanya Yannic. Yannic Teichgraber lengkapnya, umur 20 dan lepas high school udah travelling ke beberapa negara, ok itu sekilas tentang teman baru kami. Oia , di rumah ini lanjut cerita-cerita lagi sama Bapak yang tinggal di rumah ini, namanya Pak Yosef Kanip atau Pak Yos biasa dipanggilnya. Ternyata Pak Yos ini sudah merantau dan pernah kerja di SulSel selama 2 tahun terus balik lagi ke kampungnya. Kita juga diajarin sedikit-sedikit bahasa Wae Rebo, seperti tabe loho artinya selamat siang terus tabe mane artinya selamat sore. Oia keterangan dari Pak Yos, mbaru niang pertama kali dibangun pada tahun 1917 dan pada tahun 2009 sempat direnovasi. Jam 18.30 saya izin mau shalat maghrib, Pak Yos nya juga pamit mau lihat persiapan makan malam. Saya bersih-bersih sedikit sebelum shalat, gak tahan buat mandi, gilak airnya dingin banget, ngalahin yang Ruteng ini mah, hampir-hampir sama di Lembanna, desa di kaki gunung Bawakaraeng.

It’s time to dinner, menunya nasi putih, sayur -gak tau sayur apa,gak ngelirik, bukan pemakan segala sayur soalnya- ada sambal yang enak sampai-sampai si Yannic doyan lalu ada daging, mungkin daging ayam tapi warga sini kan non muslim semua, pastinya nyembelihnya gak ucap basmalah. Ya Allah, bismillah saja saya dan Widya makan, lapar banget soalnya. Wallahu’ a’lam…

Abis makan malam, masing-masing kembali ke tempat peraduan. Kelompok instansi pemerintah, kelompok turis Prancis bersama 2 local guidenya dan kami. Karena belum ngantuk, untung Widya bawa kartu remi, jadilah kami main kartu dengan sebelumnya menjelaskan sistem permainannya ke Yannic, nih anak cepat tangkap, lho. Dan saya memutuskan permainan setelah bermain beberapa sesi, lebih banyak saya yang kalah, I have bad cards. Sebelum main kartu, sharing cerita sama Yannic, bagusnya nih anak kan biasa bule paling malas ditanyain apalagi bule Jerman rada tertutup sama orang luar. Yannic beda, dia orangnya terbuka, malah bilang gak usah sungkan nanya privasi, tanya aja, karena masih labil kali ya, secara kami beda 4 tahun tapi kalau dari muka, sepantaran lah ya,hhe.
               
Lepas SMU, orangtuanya ngasih kebebasan entah mau lanjut untuk kuliah atau melakukan kegiatan yang loe banget. Yannic memilih menjadi Traveller. Katanya di tiap negara dia biasa tinggal untuk 3 pekan dan untuk membiayai perjalanannya selama ini berasal dari hasil menjual foto-fotonya (Fotografi Traveller). Mau jalanin hidup kayak gini, baru ngutarain niat ke ortu,udah dipasung kali saya. Dikasi izin bisa ke Flores aja alhamdulillah banget, saya hampir gak pergi lho sempat bersitegang dengan Mama, Bapak lagi di bumi rantaunya. Kalau saya batal, Widya malah nekad mau solo karir ke Flores atau cari alternatif tujuan lain buat ngebolang. Rencana berangkat kami sudah dari bulan Mei tapi selalu tertunda-tunda, sayanya yang belum bisa ambil cuti, Widya nya yang padat dengan jadwal kuliah dan ujian.
                
Oto, salah satu alat transportasi di Flores

Sebelum ke Indonesia, Yannic sudah ke Sri Lanka, ke Malaysia, dan sebelum ke Flores, dik Yannic (kelahiran 94, bro) ini sudah mendaki Semeru dan explore Malang. Dari sini, doi lanjut mau ke Perth, Australia, bakal stay disana setahun mau cari kerja katanya atau kalau bosan, cari suasana baru lagi. Ni anak dari Labuan Bajo ke desa Denge’, doi sewa motor 150rb/harinya dan dapat kecelakaan pas jalan ke Denge’ tadi siang, lukanya lumayan lah di siku dan lututnya. Dik Yannic ini juga cerita soal keluarganya-ia,karena saya yang nanya,hha-dan dia bilang sangat merindukan adik bungsunya, bocah lucu, namanya Lena, dilihatin foto-foto adiknya dari tabletnya. Ditanya gak rindu tuh, kapan balik ke Zurich? dijawab sekenanya kalau soal rindu pastilah tapi untuk balik, belum tau kapan. Yah, semoga menemukan apa yang kau cari, Dik Yannic J
              
 Sudah jam 21.20 kami tidur, kalau kelompok instansi pemerintah udah dari tadi tidurnya malah udah ada yang ngorok, suara ngoroknya kayak ngorok disamping telingaku  padahal tempat kami sudut pukul sudut, ckck keras amat,Bang… Lain lagi sama 3 bule Prancis dan 2 guidenya, berisik sekali, udah jam 11 malam masih cas cis cus ngobrol, alamak mana dinginnya mana tahan, pake 2 selimut masih dingin juga. Tambah lagi si Widya bangun untuk kembalikan jaketnya Yannic yang tadi dipinjamin karena Widya udah kayak kena hipotermia stadium awal tapi si Yannic nolak, ngasih Widya pakai aja karena Widya lebih kedinginan padahal nih ya si Yannic suara menggigilnya kayak di samping telingaku , lha posisi kami terpisah 2 meter. Bener-bener…dinginnya Wae Rebo bikin gak bisa tidur, alhasil mungkin hanya 2-3jam tidurnya selebihnya krasak krusuk gak karuan.
                
Hwaaa…pagi, alarm hape bunyi tapi bangkit dari pembaringan terasa berat sekali, selain kurang tidur, hawa dingin bikin mager alias malas gerak. Si Widya bangun tapi lanjut tidur lagi. Yeah, saya satu-satunya makhluk yang akan melaksanakan shalat subuh di bumi Wae Rebo ini. Sedikit curhat, kalau bepergian sebenarnya mau juga dapat menstruasi supaya kalau ada kepepet, baju kotor gak sempat ganti, dalam perjalanan gak bisa singgah-singgah gak bakal dosa ninggalin kewajiban. Astagfirullahaladzim… Islam itu agama yang memudahkan umatnya tapi umatnya gak bisa memudahkan segalanya juga-think again.
                 
Tampak depan salah satu Mbaru Niang

Di sisi lain, Alhamdulillah kalau dalam keadaan suci bisa melaksanakan shalat di tempat-tempat asing, di tempat minoritas muslim, bukannya berbangga hati, senang dan bersyukur juga masih bisa melakukan perintah-Nya walau dalam keadaan tak lazim. Dalam trip ini, perjalanan antar kabupaten yang berjam-jam dan gak ada acara singgah-singgahnya (lagian mau singgah dimana) membuat saya mengqashar shalat bahkan sampai shalat duduk dalam bis, untuk  urusan diterima-Nya, Wallahua’lam. Oia, selagi saya shalat maghrib kemarin, si Yannic yang ternyata atheis mempertanyakan kepada Widya (yang saat itu lagi M) cara umat muslim beribadah, kenapa gerakan-gerakan shalat seperti itu, arti bacaan shalat dan kenapa Widya tidak shalat. Dijelaskan seadanya pengetahuan kami, tapi soal bacaan shalat, yang dari Arab diterjemahkan ke Inggris, Subhannallah… bahasa Inggris kita gak lancar, dik… Bagusnya Yannic ikutan liqo deh, hhe
                
Habis shalat, duduk-duduk merenung gak jelas sampai hawa dingin berangsur-angsur hilang, akhirnya Widya bangkit dari tidurnya dan its time to “take some pictures”, mumpung yang lain masih tidur. Gak sampai setengah jam sesi pemotretan, bias-bias matahari mulai nampak. Aiiih, elok nian pemandangan alam ini, bikin takjub juga kami bisa juga sampai ke sini, Alhamdulillah…

Bersambung ke Part 6...

4 komentar:

alrisjualan mengatakan...

Itu truk disulap jadi mobil angkutan unik juga ya. Rumah adatnya keren.
Betapa kayanya Indonesia. Bangga kita dibuatnya.

salam,
http://alrisblog.wordpress.com

Hartil Musbali mengatakan...

Ya, mas...
bangga akan budaya negeri kita, kearifan lokalnya, masyarakatnya..
bangga berINDONESIA :-)

Fachrul Hidayat mengatakan...

Nice trip. Ditunggu tulisan berikutnya.

Fachrul Hidayat mengatakan...

Nice trip. Ditunggu tulisan berikutnya.

Posting Komentar