Setelah divonis bebas untuk berekspresi,
dibukalah sesi tanya jawab. Kami pun bertanya tentang suku Wae Rebo dan Mbaru
Niang ini. Si bule penasaran sejak kapan berdirinya mbaru niang ini, kata Pak
Kanisius mbaru niang ini sudah 18 generasi, si bule takjub gak percaya. Bentuk
kerucut karena sudah warisan leluhur dan agar tahan pada saat musim hujan dan
diyakini akan lama diganti pengatapannya dengan bentuk kerucut ini.
Oia, di tiang depan pintu masuk, ada terikat
alat musik semacam gendang atau gong. Alat musik itu dipakai saat perayaan
tahun baru. Tapi tahun baru di kampung ini tidak mengikut dengan kalender Masehi
melainkan pada setiap tanggal 15 November dan acara dimulai pada tanggal 16
November dengan menyanyi diiringi alat musik tadi serta beberapa acara adat
menyambut masa menanam. Ya, alasan mengapa 15 November karena pertengahan bulan
dimana peralihan musim kemarau ke musim hujan (menanam di tahun yang baru).
Tanggal 15 November juga karena sudah membudaya dan bagi warga desa ini masih
tetap menganggap 1 Januari sebagai tahun baru juga kok tapi secara administrasi
saja katanya. Makanya, kalau ingin mengunjungi Wae Rebo, disarankan tanggal 16
November untuk bisa melihat acara adatnya.
Setelah sedikit tanya jawab karena hari sudah
mulai gelap, kami bertiga diantar oleh Mba Pela’ dari Mbaru Tembang istilah
untuk rumah utama ke Mbaru khusus tamu. Di dalam Mbaru tamu ini sudah ada
rombongan terdiri 3 orang yang adalah utusan instansi pemerintah yang melakukan
peninjauan untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga hidro dari ITB. Setelah
kami, datang lagi rombongan 3 bule ; 1 cowok dan 2 cewek serta 2 cowok guidenya.
Rombongan mereka sempat kami lihat waktu di terminal, tau gitu bareng aja kali
ya, soalnya dengar-dengar mereka hanya naik Oto yang jeda waktu kami ke sini
tidak terlalu lama padahal saya dan Widya start duluan, pake bis lagi. Setelah
tanya sama guidenya si bule, kalau naik Oto pakai jalur selain yang kami lewati
dan memang lebih cepat tapi ya kenyamanan lagi.
Suasana dalam Mbaru Tembang
|
Di
rumah khusus tamu ini, baru dah kami kenalan sama si bule Jerman, namanya
Yannic. Yannic Teichgraber lengkapnya, umur 20 dan lepas high school udah
travelling ke beberapa negara, ok itu sekilas tentang teman baru kami. Oia , di
rumah ini lanjut cerita-cerita lagi sama Bapak yang tinggal di rumah ini,
namanya Pak Yosef Kanip atau Pak Yos biasa dipanggilnya. Ternyata Pak Yos ini
sudah merantau dan pernah kerja di SulSel selama 2 tahun terus balik lagi ke
kampungnya. Kita juga diajarin sedikit-sedikit bahasa Wae Rebo, seperti tabe loho artinya selamat siang terus tabe mane artinya selamat sore. Oia keterangan
dari Pak Yos, mbaru niang pertama kali dibangun pada tahun 1917 dan pada tahun
2009 sempat direnovasi. Jam 18.30 saya izin mau shalat maghrib, Pak Yos nya
juga pamit mau lihat persiapan makan malam. Saya bersih-bersih sedikit sebelum
shalat, gak tahan buat mandi, gilak airnya dingin banget, ngalahin yang Ruteng
ini mah, hampir-hampir sama di Lembanna, desa di kaki gunung Bawakaraeng.
It’s time to dinner, menunya nasi putih, sayur
-gak tau sayur apa,gak ngelirik, bukan pemakan segala sayur soalnya- ada sambal
yang enak sampai-sampai si Yannic doyan lalu ada daging, mungkin daging ayam
tapi warga sini kan non muslim semua, pastinya nyembelihnya gak ucap basmalah.
Ya Allah, bismillah saja saya dan Widya makan, lapar banget soalnya. Wallahu’
a’lam…
Abis makan malam, masing-masing kembali ke
tempat peraduan. Kelompok instansi pemerintah, kelompok turis Prancis bersama 2
local guidenya dan kami. Karena belum ngantuk, untung Widya bawa kartu remi,
jadilah kami main kartu dengan sebelumnya menjelaskan sistem permainannya ke
Yannic, nih anak cepat tangkap, lho. Dan saya memutuskan permainan setelah
bermain beberapa sesi, lebih banyak saya yang kalah, I have bad cards. Sebelum
main kartu, sharing cerita sama Yannic, bagusnya nih anak kan biasa bule paling
malas ditanyain apalagi bule Jerman rada tertutup sama orang luar. Yannic beda,
dia orangnya terbuka, malah bilang gak usah sungkan nanya privasi, tanya aja,
karena masih labil kali ya, secara kami beda 4 tahun tapi kalau dari muka,
sepantaran lah ya,hhe.
Lepas
SMU, orangtuanya ngasih kebebasan entah mau lanjut untuk kuliah atau melakukan
kegiatan yang loe banget. Yannic memilih menjadi Traveller. Katanya di tiap
negara dia biasa tinggal untuk 3 pekan dan untuk membiayai perjalanannya selama
ini berasal dari hasil menjual foto-fotonya (Fotografi Traveller). Mau jalanin
hidup kayak gini, baru ngutarain niat ke ortu,udah dipasung kali saya. Dikasi
izin bisa ke Flores aja alhamdulillah banget, saya hampir gak pergi lho sempat
bersitegang dengan Mama, Bapak lagi di bumi rantaunya. Kalau saya batal, Widya
malah nekad mau solo karir ke Flores atau cari alternatif tujuan lain buat
ngebolang. Rencana berangkat kami sudah dari bulan Mei tapi selalu
tertunda-tunda, sayanya yang belum bisa ambil cuti, Widya nya yang padat dengan
jadwal kuliah dan ujian.
Oto, salah satu alat transportasi di Flores
|
Sebelum
ke Indonesia, Yannic sudah ke Sri Lanka, ke Malaysia, dan sebelum ke Flores,
dik Yannic (kelahiran 94, bro) ini sudah mendaki Semeru dan explore Malang.
Dari sini, doi lanjut mau ke Perth, Australia, bakal stay disana setahun mau
cari kerja katanya atau kalau bosan, cari suasana baru lagi. Ni anak dari
Labuan Bajo ke desa Denge’, doi sewa motor 150rb/harinya dan dapat kecelakaan pas
jalan ke Denge’ tadi siang, lukanya lumayan lah di siku dan lututnya. Dik
Yannic ini juga cerita soal keluarganya-ia,karena saya yang nanya,hha-dan dia
bilang sangat merindukan adik bungsunya, bocah lucu, namanya Lena, dilihatin
foto-foto adiknya dari tabletnya. Ditanya gak rindu tuh, kapan balik ke Zurich?
dijawab sekenanya kalau soal rindu pastilah tapi untuk balik, belum tau kapan.
Yah, semoga menemukan apa yang kau cari, Dik Yannic J
Sudah
jam 21.20 kami tidur, kalau kelompok instansi pemerintah udah dari tadi
tidurnya malah udah ada yang ngorok, suara ngoroknya kayak ngorok disamping
telingaku padahal tempat kami sudut
pukul sudut, ckck keras amat,Bang… Lain lagi sama 3 bule Prancis dan 2
guidenya, berisik sekali, udah jam 11 malam masih cas cis cus ngobrol, alamak
mana dinginnya mana tahan, pake 2 selimut masih dingin juga. Tambah lagi si
Widya bangun untuk kembalikan jaketnya Yannic yang tadi dipinjamin karena Widya
udah kayak kena hipotermia stadium awal tapi si Yannic nolak, ngasih Widya pakai
aja karena Widya lebih kedinginan padahal nih ya si Yannic suara menggigilnya
kayak di samping telingaku , lha posisi kami terpisah 2 meter.
Bener-bener…dinginnya Wae Rebo bikin gak bisa tidur, alhasil mungkin hanya
2-3jam tidurnya selebihnya krasak krusuk gak karuan.
Hwaaa…pagi,
alarm hape bunyi tapi bangkit dari pembaringan terasa berat sekali, selain
kurang tidur, hawa dingin bikin mager alias malas gerak. Si Widya bangun tapi
lanjut tidur lagi. Yeah, saya satu-satunya makhluk yang akan melaksanakan shalat
subuh di bumi Wae Rebo ini. Sedikit curhat, kalau bepergian sebenarnya mau juga
dapat menstruasi supaya kalau ada kepepet, baju kotor gak sempat ganti, dalam
perjalanan gak bisa singgah-singgah gak bakal dosa ninggalin kewajiban.
Astagfirullahaladzim… Islam itu agama yang memudahkan umatnya tapi umatnya gak
bisa memudahkan segalanya juga-think again.
Tampak depan salah satu Mbaru Niang
|
Di sisi lain, Alhamdulillah kalau dalam
keadaan suci bisa melaksanakan shalat di tempat-tempat asing, di tempat
minoritas muslim, bukannya berbangga hati, senang dan bersyukur juga masih bisa
melakukan perintah-Nya walau dalam keadaan tak lazim. Dalam trip ini,
perjalanan antar kabupaten yang berjam-jam dan gak ada acara singgah-singgahnya
(lagian mau singgah dimana) membuat saya mengqashar shalat bahkan sampai shalat
duduk dalam bis, untuk urusan
diterima-Nya, Wallahua’lam. Oia, selagi saya shalat maghrib kemarin, si Yannic
yang ternyata atheis mempertanyakan kepada Widya (yang saat itu lagi M) cara
umat muslim beribadah, kenapa gerakan-gerakan shalat seperti itu, arti bacaan
shalat dan kenapa Widya tidak shalat. Dijelaskan seadanya pengetahuan kami,
tapi soal bacaan shalat, yang dari Arab diterjemahkan ke Inggris, Subhannallah…
bahasa Inggris kita gak lancar, dik… Bagusnya Yannic ikutan liqo deh, hhe
Habis
shalat, duduk-duduk merenung gak jelas sampai hawa dingin berangsur-angsur
hilang, akhirnya Widya bangkit dari tidurnya dan its time to “take some
pictures”, mumpung yang lain masih tidur. Gak sampai setengah jam sesi
pemotretan, bias-bias matahari mulai nampak. Aiiih, elok nian pemandangan alam
ini, bikin takjub juga kami bisa juga sampai ke sini, Alhamdulillah…
Bersambung ke Part 6...
4 komentar:
Itu truk disulap jadi mobil angkutan unik juga ya. Rumah adatnya keren.
Betapa kayanya Indonesia. Bangga kita dibuatnya.
salam,
http://alrisblog.wordpress.com
Ya, mas...
bangga akan budaya negeri kita, kearifan lokalnya, masyarakatnya..
bangga berINDONESIA :-)
Nice trip. Ditunggu tulisan berikutnya.
Nice trip. Ditunggu tulisan berikutnya.
Posting Komentar