Jurnal Trip Flores (Part 5)

Senin, 23 Februari 2015


Setelah divonis bebas untuk berekspresi, dibukalah sesi tanya jawab. Kami pun bertanya tentang suku Wae Rebo dan Mbaru Niang ini. Si bule penasaran sejak kapan berdirinya mbaru niang ini, kata Pak Kanisius mbaru niang ini sudah 18 generasi, si bule takjub gak percaya. Bentuk kerucut karena sudah warisan leluhur dan agar tahan pada saat musim hujan dan diyakini akan lama diganti pengatapannya dengan bentuk kerucut ini.

Oia, di tiang depan pintu masuk, ada terikat alat musik semacam gendang atau gong. Alat musik itu dipakai saat perayaan tahun baru. Tapi tahun baru di kampung ini tidak mengikut dengan kalender Masehi melainkan pada setiap tanggal 15 November dan acara dimulai pada tanggal 16 November dengan menyanyi diiringi alat musik tadi serta beberapa acara adat menyambut masa menanam. Ya, alasan mengapa 15 November karena pertengahan bulan dimana peralihan musim kemarau ke musim hujan (menanam di tahun yang baru). Tanggal 15 November juga karena sudah membudaya dan bagi warga desa ini masih tetap menganggap 1 Januari sebagai tahun baru juga kok tapi secara administrasi saja katanya. Makanya, kalau ingin mengunjungi Wae Rebo, disarankan tanggal 16 November untuk bisa melihat acara adatnya.
                 
Setelah sedikit tanya jawab karena hari sudah mulai gelap, kami bertiga diantar oleh Mba Pela’ dari Mbaru Tembang istilah untuk rumah utama ke Mbaru khusus tamu. Di dalam Mbaru tamu ini sudah ada rombongan terdiri 3 orang yang adalah utusan instansi pemerintah yang melakukan peninjauan untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga hidro dari ITB. Setelah kami, datang lagi rombongan 3 bule ; 1 cowok dan 2 cewek serta 2 cowok guidenya. Rombongan mereka sempat kami lihat waktu di terminal, tau gitu bareng aja kali ya, soalnya dengar-dengar mereka hanya naik Oto yang jeda waktu kami ke sini tidak terlalu lama padahal saya dan Widya start duluan, pake bis lagi. Setelah tanya sama guidenya si bule, kalau naik Oto pakai jalur selain yang kami lewati dan memang lebih cepat tapi ya kenyamanan lagi. 

Suasana dalam Mbaru Tembang

Di rumah khusus tamu ini, baru dah kami kenalan sama si bule Jerman, namanya Yannic. Yannic Teichgraber lengkapnya, umur 20 dan lepas high school udah travelling ke beberapa negara, ok itu sekilas tentang teman baru kami. Oia , di rumah ini lanjut cerita-cerita lagi sama Bapak yang tinggal di rumah ini, namanya Pak Yosef Kanip atau Pak Yos biasa dipanggilnya. Ternyata Pak Yos ini sudah merantau dan pernah kerja di SulSel selama 2 tahun terus balik lagi ke kampungnya. Kita juga diajarin sedikit-sedikit bahasa Wae Rebo, seperti tabe loho artinya selamat siang terus tabe mane artinya selamat sore. Oia keterangan dari Pak Yos, mbaru niang pertama kali dibangun pada tahun 1917 dan pada tahun 2009 sempat direnovasi. Jam 18.30 saya izin mau shalat maghrib, Pak Yos nya juga pamit mau lihat persiapan makan malam. Saya bersih-bersih sedikit sebelum shalat, gak tahan buat mandi, gilak airnya dingin banget, ngalahin yang Ruteng ini mah, hampir-hampir sama di Lembanna, desa di kaki gunung Bawakaraeng.

It’s time to dinner, menunya nasi putih, sayur -gak tau sayur apa,gak ngelirik, bukan pemakan segala sayur soalnya- ada sambal yang enak sampai-sampai si Yannic doyan lalu ada daging, mungkin daging ayam tapi warga sini kan non muslim semua, pastinya nyembelihnya gak ucap basmalah. Ya Allah, bismillah saja saya dan Widya makan, lapar banget soalnya. Wallahu’ a’lam…

Abis makan malam, masing-masing kembali ke tempat peraduan. Kelompok instansi pemerintah, kelompok turis Prancis bersama 2 local guidenya dan kami. Karena belum ngantuk, untung Widya bawa kartu remi, jadilah kami main kartu dengan sebelumnya menjelaskan sistem permainannya ke Yannic, nih anak cepat tangkap, lho. Dan saya memutuskan permainan setelah bermain beberapa sesi, lebih banyak saya yang kalah, I have bad cards. Sebelum main kartu, sharing cerita sama Yannic, bagusnya nih anak kan biasa bule paling malas ditanyain apalagi bule Jerman rada tertutup sama orang luar. Yannic beda, dia orangnya terbuka, malah bilang gak usah sungkan nanya privasi, tanya aja, karena masih labil kali ya, secara kami beda 4 tahun tapi kalau dari muka, sepantaran lah ya,hhe.
               
Lepas SMU, orangtuanya ngasih kebebasan entah mau lanjut untuk kuliah atau melakukan kegiatan yang loe banget. Yannic memilih menjadi Traveller. Katanya di tiap negara dia biasa tinggal untuk 3 pekan dan untuk membiayai perjalanannya selama ini berasal dari hasil menjual foto-fotonya (Fotografi Traveller). Mau jalanin hidup kayak gini, baru ngutarain niat ke ortu,udah dipasung kali saya. Dikasi izin bisa ke Flores aja alhamdulillah banget, saya hampir gak pergi lho sempat bersitegang dengan Mama, Bapak lagi di bumi rantaunya. Kalau saya batal, Widya malah nekad mau solo karir ke Flores atau cari alternatif tujuan lain buat ngebolang. Rencana berangkat kami sudah dari bulan Mei tapi selalu tertunda-tunda, sayanya yang belum bisa ambil cuti, Widya nya yang padat dengan jadwal kuliah dan ujian.
                
Oto, salah satu alat transportasi di Flores

Sebelum ke Indonesia, Yannic sudah ke Sri Lanka, ke Malaysia, dan sebelum ke Flores, dik Yannic (kelahiran 94, bro) ini sudah mendaki Semeru dan explore Malang. Dari sini, doi lanjut mau ke Perth, Australia, bakal stay disana setahun mau cari kerja katanya atau kalau bosan, cari suasana baru lagi. Ni anak dari Labuan Bajo ke desa Denge’, doi sewa motor 150rb/harinya dan dapat kecelakaan pas jalan ke Denge’ tadi siang, lukanya lumayan lah di siku dan lututnya. Dik Yannic ini juga cerita soal keluarganya-ia,karena saya yang nanya,hha-dan dia bilang sangat merindukan adik bungsunya, bocah lucu, namanya Lena, dilihatin foto-foto adiknya dari tabletnya. Ditanya gak rindu tuh, kapan balik ke Zurich? dijawab sekenanya kalau soal rindu pastilah tapi untuk balik, belum tau kapan. Yah, semoga menemukan apa yang kau cari, Dik Yannic J
              
 Sudah jam 21.20 kami tidur, kalau kelompok instansi pemerintah udah dari tadi tidurnya malah udah ada yang ngorok, suara ngoroknya kayak ngorok disamping telingaku  padahal tempat kami sudut pukul sudut, ckck keras amat,Bang… Lain lagi sama 3 bule Prancis dan 2 guidenya, berisik sekali, udah jam 11 malam masih cas cis cus ngobrol, alamak mana dinginnya mana tahan, pake 2 selimut masih dingin juga. Tambah lagi si Widya bangun untuk kembalikan jaketnya Yannic yang tadi dipinjamin karena Widya udah kayak kena hipotermia stadium awal tapi si Yannic nolak, ngasih Widya pakai aja karena Widya lebih kedinginan padahal nih ya si Yannic suara menggigilnya kayak di samping telingaku , lha posisi kami terpisah 2 meter. Bener-bener…dinginnya Wae Rebo bikin gak bisa tidur, alhasil mungkin hanya 2-3jam tidurnya selebihnya krasak krusuk gak karuan.
                
Hwaaa…pagi, alarm hape bunyi tapi bangkit dari pembaringan terasa berat sekali, selain kurang tidur, hawa dingin bikin mager alias malas gerak. Si Widya bangun tapi lanjut tidur lagi. Yeah, saya satu-satunya makhluk yang akan melaksanakan shalat subuh di bumi Wae Rebo ini. Sedikit curhat, kalau bepergian sebenarnya mau juga dapat menstruasi supaya kalau ada kepepet, baju kotor gak sempat ganti, dalam perjalanan gak bisa singgah-singgah gak bakal dosa ninggalin kewajiban. Astagfirullahaladzim… Islam itu agama yang memudahkan umatnya tapi umatnya gak bisa memudahkan segalanya juga-think again.
                 
Tampak depan salah satu Mbaru Niang

Di sisi lain, Alhamdulillah kalau dalam keadaan suci bisa melaksanakan shalat di tempat-tempat asing, di tempat minoritas muslim, bukannya berbangga hati, senang dan bersyukur juga masih bisa melakukan perintah-Nya walau dalam keadaan tak lazim. Dalam trip ini, perjalanan antar kabupaten yang berjam-jam dan gak ada acara singgah-singgahnya (lagian mau singgah dimana) membuat saya mengqashar shalat bahkan sampai shalat duduk dalam bis, untuk  urusan diterima-Nya, Wallahua’lam. Oia, selagi saya shalat maghrib kemarin, si Yannic yang ternyata atheis mempertanyakan kepada Widya (yang saat itu lagi M) cara umat muslim beribadah, kenapa gerakan-gerakan shalat seperti itu, arti bacaan shalat dan kenapa Widya tidak shalat. Dijelaskan seadanya pengetahuan kami, tapi soal bacaan shalat, yang dari Arab diterjemahkan ke Inggris, Subhannallah… bahasa Inggris kita gak lancar, dik… Bagusnya Yannic ikutan liqo deh, hhe
                
Habis shalat, duduk-duduk merenung gak jelas sampai hawa dingin berangsur-angsur hilang, akhirnya Widya bangkit dari tidurnya dan its time to “take some pictures”, mumpung yang lain masih tidur. Gak sampai setengah jam sesi pemotretan, bias-bias matahari mulai nampak. Aiiih, elok nian pemandangan alam ini, bikin takjub juga kami bisa juga sampai ke sini, Alhamdulillah…

Bersambung ke Part 6...

Jurnal Trip Flores (Part 4)


Desa Wae Rebo

Jam 12.30 tiba di desa terakhir, desa Denge’ namanya, sang Kaka’ driver juga langsung parkir di depan rumah Wejang Asih, guest home wajib sebelum mendaki menuju Wae Rebo. Oia, sebelum turun bis, saya dan Widya bisik2 lagi, kami terka-terka pasti per orang kena 100rb deh, 4jam perjalanan dengan jalur yang Subhanallah ya. Eh, dimintanya 60rb per orang, Widya langsung bisik, wah, baek nih orang, kita gak ditipu. Sengaja gak tanya tarif dari awal, takut shock aja,hhe. Malah kita ditawarin bakal ditungguin pas bisnya mau balik, jam 03.00 tapi. Diiyain aja karena belum tau juga mau pake apa balik ke Ruteng nanti.
                
Di dalam guest house udah ada 2 cewek, seorang  mahasiswa Jakarta namanya Fidya dan Dewi yang ternyata seorang guide dari Labuan Bajo, dikiranya baru mau mendaki ke Wae Rebo juga supaya ada teman jalan. Ternyata mereka udah dari Wae Rebo n mau balik ke Labuan Bajo. Kami cerita mau langsung pp saja supaya dapat bis jam 03.00 tapi dibilangin sama Mama’ Asih nya sebaiknya jangan jalan malam dan dibilangnya bakal nyesel kalo gak pake nginap di rumah adat sana sama Fidya. Melihat juga sikon, kami juga gak punya headlamp, mending gak usah takabur mau jalan malam lah ya karena perjalanan dari sini ke Wae Rebo 3-4 jam.
               
Kami pun start trekking jam 13.40 setelah shalat dan nitipin barang-barang di Wejang Asih, lumayan bawaan berkurang dan kami juga sudah mencoba kopi asli Wae Rebo. Asli pahit bingit,ampasnya cukup banyak di permukaan kopi dan perlu pake 2 sdm penuh gula baru terasa manis. Dibilangnya sama mama Asih kalau sudah minum kopi Wae Rebo sudah jadi orang Wae Rebo :D. Kami juga skip makan siang,sebelumnya ditawarin sama Mama' Asih buat makan tapi...takut kalau-kalau itu..padahal lagi lapar berat, tadi cuma ngemil biskuit di jalan. Sebelum lets go lets get lost, kami pamitan sama orang-orang di guest house juga sama seorang bule muda Jerman yang nolak salam say good bye kami karena lagi rempong dengan jeruknya yang belepotan di tangannya. Kita ngerti kalau tangannya lagi kotor tapi ada perasaan gimana gitu, ya…sudahlah…

              
 Saking gak siapnya, we will climb with sandals, surprise :o! Saya pakai sandal yang ada tulisan Wolesnya itu lho ala-ala wedges sandal jepit dan Widya dengan Swallow merahnya. Sempurna..gak lama nyeker kita nih. Jalanannya jelas banget bahkan kalau ada percabangan ujung-ujungnya juga bakal ketemu, yang terlihat buntu dan jalurnya sulit malah ternyata adalah jalan pintasnya. Dibilangnya cuma orang yang lagi sial banget yang bakal kesasar deh,hhe.  Di tiap 100m ada papan penanda jaraknya, bikin semangat juga untuk memburu sampai papan akhir, tepatnya desa Wae Rebo yang disebut The Hidden Paradise sama orang kebanyakan, yuhuuu

Jalur yang telah dipagari-jalur curam


Kami beberapa kali singgah istirahat buat minum dan ngemil-ngemil, pas di tempat peristirahatan kedua kami yang sudah dipagari beton-karena jalur yang ini cukup curam-, lewatlah si bule muda tadi, ditawari snack, ditolaknya dan berlalu begitu saja. OK fine, dikiranya si bule Jerman itu sentimen sama perempuan berjilbab, daritadi nolak mulu. Di perjalanan, kami gosipin bule itu, hha, dasar ya. Gak lama kami bisa nyusul bule Jerman ntu, dia terlihat barusan selesai istirahat. Oh, bule ada capeknya juga, sempat istirahat (masih sensi nih ye :P). Sebelum ke desa Wae Rebo, ada semacam pos gitu, bisa ngambil foto yang keren dari situ, nampak ketujuh mbaru niang dari atas, gammara’na ca’! :D

Duluan si bule nangkring di pos itu, dia udah ngeluarin kameranya tapi dilarang sama Widya buat take a pict karena sebelumnya sudah diperingati sama cewe di guest house tadi untuk jangan ambil gambar sebelum diterima secara adat sama penduduk Wae Rebo. Kami pun sempat ngobrol tanya latar belakang sebelum turun ke kampung. Jam 16.50 kami sampai di desa Wae Rebo…Alhamdulillah…Subhanallah… Sampainya di depan semacam pintu selamat datang hanya berupa gapura dengan dua batang bambu. Si Bule inisiatif nyari kayu buat ngetok-ngetok bambu karena kata cewe di guest house tadi sebelum masuk kampungnya, kita ketuk-ketuk bambu pertanda ada tamu. Tapi masalahnya kami gak tau bambu yang mana yang harus diketuk-ketuk. Beberapa kali diketuk bambu gapura ini, gak ada respon bahkan ada penduduk yang cuek aja lihat ada 3 orang kayak orang bego ketuk-ketuk bambu gak jelas, suasana pun cair dengan si bule dan kami saling menertawai kelakuan kami yang gak jelas ini dan ternyata bule ini gak arogan kok, friendly malah. 
                
Desa Wae Rebo, foto diambil dari pos I 

Sampai ada seorang perempuan dan Bapak keluar dari mbaru niang yang paling besar melambai ke kami mengajak ke tempatnya. Kami pun jalan menuju mbaru niang itu. Saya pun heran kan katanya sebelum masuk desanya bakal ada upacara penyambutan gitu. Pasti karena kami salah prosedur jadi disambut apa adanya saja. Seorang perempuan tadi, namanya Pela’ (semoga gak salah, soalnya lupa namanya) menjelaskan harusnya kami mengetuk bambu yang berada di pos di atas, pos tempat kami tadi istirahat, oalah…gak lihat bambunya tapi dimaklumi sama Mba nya. Jam 17.25 kami diajak masuk ke dalam mbaru niang. Bapak yang tadi langsung duduk di tengah rumah di depan dapur tempat ibu-ibu sibuk memasak. Yang ternyata fungsi dapur berada di tengah rumah supaya asap hasil pembakaran kayu itu untuk menguatkan pondasi mbaru niang itu sendiri, asapnya membumbung sampai ke atap (dalam bahasa Wae Rebo, mbaru=rumah, niang=kerucut). Dan kami duduk di tempat tamu yang mengelilingi sebagian mbaru, di sisi belakang mbaru terdapat beberapa bilik atau kamar.


Bapak yang tadi itu pun menyambut kami, namanya Pak Kanisius, 56 tahun. Sebelumnya Pak Kanisius melakukan ritual kecil untuk meminta ijin ke leluhurnya dengan bahasa Wae Rebo. Setelah proses itu, katanya kami sudah bebas bisa ambil gambar atau foto-foto. Lalu Mba Pela’ menyampaikan secara halus nan lembut bahwa kami harus membayar semacam tiket masuk, bayarnya bukan per kepala tapi per rombongan, hampir lu bule bayar sendiri,hha. Kami pun membayar 50rb untuk rombongan trio kami karena katanya minimal 50rb saja, saya dan Widya masing-masing 15rb, si bule 20rb.

Bersambung ke Part 5

Jurnal Trip Flores (Part 3)


Puncak Nangaroro

Jam 09.30 kami masih di terminal, dari situs Bung Karno ke terminal bayar ojek 5rb. Kalau bis kecil atau oto kayu arah ke Nangaroro atau ke daerah atas banyak, masalahnya pada mau muter dulu ke pasar. Jadinya kita sabar tunggu bis abis muter pasar dulu tapi tak lama ada bis yang katanya gak pake muter pasar, kami pun naik. En emang gak pake muter pasar tapi ngetem tunggu bisnya penuh itu lumayan lho, 25menit nih ditunggu. 10 teng cus deh bisnya, ketemu bule cewe Belanda yang cantik, tujuannya mau ke Bajawa mau ke rumah Bena, tujuan kami tidak sama yang mau ke Wae Rebo. Si Widya malah ngebujuk si bule buat bareng soalnya jujur saja kami mau ke Wae Rebo benar-benar buta, modal nekad bin sotoy.


1 jam perjalanan menuju Nangaroro, sama si Rofinus, teman kami itu diminta berhenti di depan Polsek Nangaroro. Ketemu di depan Polsek terus lanjut ke tempat, mereka sebut Puncak Nangaroro, semacam jalan trans dan view dari sini juga keren banget tapi yang bikin saya bertanya kenapa gak sekalian si Rofinus dan Jimmy, teman Rofinus yang mantan guide nunggu kami di Puncak ini saja, lumayan lho naik motor dari Polsek kesini padahal jalurnya dilewati sama bis kami tadi. Ternyata mereka ada urusan tadi di sekitar Polsek. Di Puncak, sambil ngopi dan ngeteh si Jimmy berbagi info dan tips-tips kalau mau ke Wae Rebo. Dulu waktu si Jimmy jadi guide, kira-kira 4 tahun yang lalu hanya dibayar 70rb buat jadi guide keliling Flores. Jaman sekarang, duit segitu bayar guide local, mungkin kata guidenya gaknya pake banget,hhe

Puncak Nangaroro

13.30 berakhir sesi tanya jawab dan mendengar wejangan-wejangan dari Bang Jimmy yang sangat menekankan untuk menghormati adat orang sana seperti kalau dijamu sirih, kita harus gigit sirihnya, sedikiiiit saja untuk menghormati masyarakat sana, yang penting jangan menolak, bisa-bisa berabe urusan kalau mereka tidak welcome sama kita. Di bayangan saya itu, orangnya primitif dsb (akibat tdk search info sebelum trip nih). Ada bis menuju Ruteng, kali ini bisnya sedikit lebih eksklusif, setelah say good bye sama Rofinus dan Jimmy, kami cus ruteng…perjalanan bakal panjang dengan liukan jalan yang semakin aduhai. Saya memilih tidur padahal pemandangan di luar we o we dan ujung-ujungnya saya jackpot lagi,hwaaa... 1 jam terakhir saya mulai enakan selain jalanan sudah tidak terlalu berliuk-liuk dan tikungan setan juga sudah lewat, saya dan Widya diminta duduk di depan di samping pak kusir eh di samping Bang Sopir. Dikira anak Raja mana gitu yang mau naik ngambil tahta kami di kursi penumpang bagian tengah sampai-sampai kami disuruh lengser ternyata si Bang Sopir minta ditemani di depan, penumpang sebelumnya yang duduk di depan sudah turun.Ini apa maksudnya coba? Padahal tadi tidurku sudah lumayan lho dan duduk di depan gak ada ngobrol-ngobrol juga sama sopirnya. Kesepian nih sopirnya…

Jam 17.55 bis melewati Gerbang Ruteng. Jam 18.08 tiba di pusat kota Ruteng tepat seperti prediksi Bang Jimmy sebelumnya. Kami minta diturunkan di depan Hotel Dahlia. Hotel Dahlia juga rekomendasi dari sang mantan guide karena harganya cukup terjangkau dan ini memang kelas hotel melati. Jam 18.15 tiba di hotel Dahlia, en lagi-lagi kami diminta tambahan, awalnya bayar 150rb buat 2 orang, jadinya 100rb/orang. Dan wow, kami disambut dengan suhu dinginnya Ruteng, kalau di Sulawesi seperti Malino tapi saya merasa di Ruteng lebih dingin, airnya saja bikin menggigil. Bisa buat Ice Bucket Challenge ini, hha. Malamnya, setelah berbenah beres-beres, keluar cari makan dan tentu saja cari Rumah Makan Padang, yang lebih dipercaya, InsyaaAllah…juga belanja buat konsumsi besok ke Wae Rebo, cemilan cepuluh sih. Jalanan disini juga seperti di Ende, dimana-mana perempatan, jalan besar dan sempat buat kami kebingungan jalan pulangnya. Malam ini kami putuskan jadi anak nongkrong Ruteng di kamar saja, suhu dingin bikin malas gerak dan cerdasnya kami, hanya bawa jaket jeans, tidurlah kami dengan menggigil.

Pulau Mules dari kejauhan


Sabtu, 6 September jam 08.00 kami check out.Pas check out, ada Bapak yang laporan mau lanjut sewa kamarnya soalnya mau ke Iteng dulu. Keluar hotel, kubisikin Widya ntu Bapak yg sekarang lagi beberes mobilnya mau ke Iteng, niat sebenarnya mau nebeng tapi tengsin dan cek per cek pake kucek2 mata karena matahari pagi bersinar benderang en bikin silau, barang bawaan Bapak dan rombongannya banyak bingit mana anggota rombongannya mungkin 4 orang dan berbodi gede. Tengsinnya udah naik level, kami langsung meninggalkan halaman hotel itu dan ke pinggir jalan searching for ojek dan sebelumnya ke warung dulu beli air minum merk Ruteng, no other choice..just available merk Ruteng :D

Jam 08.08 naik ojek, bayar 10rb dengan lama perjalanan 8 menit sampai ke terminal. Di terminal, kami cari angkutan, kata bang Jimmy sih cari oto kayu ke Iteng, dari Iteng ke Wae Rebo. Tapi ditanyai sama kenek-kenek terminal, kami bilang mau ke Wae Rebo,gak nyebut-nyebut Iteng.. eh alhamdulillah ada juga bis kecil yang langsung ke Wae Rebo. Jam 08.20 start naik bis, di perjalanan bikin takjub juga, di jalanan sempit ini ada juga kendaraan yang beroperasi, melewati beberapa kampung, dari melihat barisan gunung-gunung sampai melihat laut, meeen, dahsyat kan..keren lagi lautnya tapi udah terpatri di otak kami, ada gerakan tambahan bisa kena extra charge jadi kalem menikmati pemandangan. Saya juga kebanyakan tidur, sudah minum antimo soalnya, takut jackpot lagi saya, karena di dalam bis serasa diobok-obok. 

Dalam perjalanan, sang driver ngambil penumpang dengan kayu bakarnya yang seabrek sampai ada yang diikat di atas bis dan pas di tengah perjalanan, angkutan kayu di atas jatuh, stop dlu ngumpulin kayunya. Lanjuut.. bis berhenti di perkampungan muslim, supirnya singgah beli ikan asin, di belakang kampung itu membentang laut luas dan di seberang sana ada pulau keren banget, Pulau Mules namanya. Karena melihat kami girang, drivernya bilang turun aja ambil gambar. Langsung cus turun foto-foto. Bapak warga kampung ini ada yang nyapa kami nanya mau ke mana, taunya kami mau ke Wae Rebo, dibilangnya “Wah, mendaki, bisa mbak?” dijawab sekenanya “Iya, InsyaaAllah, Pak”. Wah, pada underustimed nih sama kami atau memang ke Wae Rebonya yang ekstrim. Jadi gak sabar, nih..penasaran. Dan satu per satu penumpang lainnya turun, serasa ini bis memang khusus mengantar kami.

Bersambung ke part 4

Jurnal Trip Flores (Part 2)

Sabtu, 14 Februari 2015

Mengunjungi Situs Pengasingan Soekarno di Ende


TURUN DARI KELIMUTU, istirahat sebentar dan sarapan. Tanya-tanya sama ibu-ibu yang jaga warungnya, selain jual makanan beliau menjual kain tenun khas Flores, tapi harganya Subhanallah ya, untuk kain yang ukurannya seperti taplak meja kecil seharga 70rb/lembar dan untuk kain tenunnya yang lebar seharga 500rb/lembar tapi harga juga variatif tergantung motif, semakin unik dan lama waktu menenunnya jelas makin mahal lah. Cukup surprise tahu harganya dan hanya bisa senyum-senyum dan pamit. Jam 09.30 start lagi goes to Ende.

Jam 12.15 tiba di Ende, kami minta diturunkan di situs Bung Karno, tepatnya rumah pengasingan Soekarno di Ende. Turun dari mobil, eh si driver minta tambahan 50rb dari masing-masing kami, udah dibilang udah gak punya duit atau duitnya pas-pas an, si Kaka yang satu ini juga kekeuh karena merasa dirugikan karena kami udah bikin doi nunggu lama waktu kami di Danau Kelimutu. Alamak…,tadi baik-baik ngobrol pas turun dari Danau Kelimutu, ini nih maksudnya minta pengertiannya… Sejak insiden ini, kami selalu buru-buru dan sebisanya gak ada gerakan tambahan, bisa-bisa kena extra charge lagi, fiuuh…

Si Kaka driver udah hengkang dengan mobilnya, makasih yaa… Dan kesialan berlanjut lagi, situsnya tertutup… hwaa…. Nanya  sama Abang yang jaga warung depan situs, katanya penjaganya lagi ada acara khitanan saudaranya di desa seberang dan besok disuruh datang aja lagi. Nanya juga sama anak-anak sekolahan yang lewat, malah katanya ada hari-hari tertentu bukanya ditambah mereka juga belum pernah masuk ke situs ini. Alamak…adik-adik ini, tiap hari dilewatin tapi belum pernah masuk, kami saja jauh-jauh dari Makassar menyempatkan ke sini, ckckck…

Di siang bolong itu, pikiran kosong, wusss…. Karena sudah masuk waktu dhuhur juga, shalat dulu di mesjid terdekat dari situs. Oia, memasuki Ende bisa dibilang titik aman buat kami, disini sudah banyak Muslim dan orang sini juga lebih friendly. Karena gak nemu tempat wudhunya dan WC nya juga dalam tahap pembangunan, saya numpang wudhu di rumah warga dekat masjid sekalian nanya-nanya tempat penginapan murah sekitar sini. Si Widya lagi berhalangan, jadinya cuma nungguin di depan rumah orang dekat mesjid. Habis shalat, nyamperin Widya yang sudah dikerubungi sama ibu-ibu sekitar. Widya udah cerita-cerita sama ibu-ibu sekitar dan Alhamdulillah, dapat ibu yang punya kamar kost yang kosong, katanya kami bisa tinggal disitu dulu. Sebenarnya kamar kostnya disewakan 500rb/bln tapi untuk kami, Ibu dan Bapaknya tidak mematok harga. Eh, kitanya jadi gimana gitu… Alhamdulillah ya..sesuatu…Berkah anak sholehah nih,hhe..lumayan daripada nyari penginapan ato di hotel melati.

Sesampainya di rumah kostnya si Ibu, yang ternyata kostnya cuma ada 2 kamar dan letaknya masih di halaman samping rumahnya, kami beberes dan saya lihat airnya lancar langsung pengen nyuci, yahh… akibat jackpot, 1 stel yang di badan kena semua, apalagi pas jalan turun dari Kelimutu, isi Pop Mie yang sarapan tadi keluar semua. Kebayang gak rempongnya bersihin bagian mobil yang kena jackpot saya..hhhi

Cucian beres, lanjut cari makan siang dan sorenya saya dan Widya jalan-jalan di pusat kota Ende sembari menikmati suasana sore kota Ende. Dari Ende Beach, foto-foto dengan latar sunset yang indah trus laju ke Museum Tenun Ikat, sebenarnya situs ini sudah ditutup dan akan direnovasi tapi masih bisa foto-foto kok di tamannya dan di luar rumah tenun ikatnya. Juga bisa langsung nyebrang ke sebelah ke Taman Perenungan Soekarno. Taman yang cukup luas dan banyak pohon Beringin besar yang rimbun, ada patung Soekarno sedang duduk merenung sendirian.

Patung Soekarno di Taman Perenungan Soekarno, Ende

Cukup banyak muda-mudi yang menghabiskan sore di Taman ini. Di sebelah Taman langsung dapat lapangan bola yang di pinggir jalannya ada Tugu 0km. Jarak dari tempat satu ke tempat yang lain sangat dekat jadinya kalau jelajah kota Ende cukup jalan kaki bisa lah yah karena sedikit-sedikit nemu perempatan. Oia, dsini banyak tukang ojeknya, berhenti sejenak di pinggir jalan saja, disamperin tukang ojek yang penampakannya bukan tukang ojek, pake baju biasa seperti pengendara pada umumnya(memangnya tukang ojek ada seragamnya) jadiinya cukup kaget pas disamperin, dikira mau ditanya alamat, wong kita juga pendatang.

Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende

Esok paginya,jam 08.30 ke situs Rumah Pengasingan Soekarno, lihat2 isi rumah dan beberapa barang peninggalannya. Masuk situs ini gratis dan hanya ada kotak sumbangan untuk pelestarian rumah ini, diisi seikhlasnya saja. Kami tidak berlama-lama disini hanya 20 menit, rumahnya kecil, sederhana tapi menenangkan sampai-sampai Widya nyeletuk kalau diasingkan  dan dikasi rumah dan perabot kayak begini, dia mau-mau saja, hhe. Puas lihat-lihat dan foto kami balik ke kost karena kami ingin lanjut perjalanan ke Ruteng tapi sebelumnya singgah di Nangaroro, mau ketemuan dulu sama teman kampus yang asli orang sini buat tanya-tanya rute dan akomodasi buat ke Wae Rebo. Oia, sebelum meninggalkan kota Ende dengan keramahan masyarakatnya, kami pamit dulu sama salah satu warga terbaik siapa lagi kalau bukan si Ibu kost, hhe. Malah waktu kami membayar uang sewa kamar, mau dikembalikan sebagian besarnya cuma mau ambil sedikit saja. Baik banget dah tapi ini istilahnya balas kebaikan si Ibu, Ibunya dipaksa buat ambil uangnya.

Bersambung ke part 3

Jurnal Trip Flores (Part 1)

Menyambangi Eksotisme Gunung Kalimutu

TRIP saya ini sudah lampau tepatnya 3 – 9 September 2015 lalu tapi baru mau diposting sekarang (kemana saja saya selama ini?!? :D). Untuk penulisannya sudah rampung gak lewat dari bulan September kemarin tapi lagi-lagi kemana saja saya selama ini?!? :P. Niat memposting juga sebagai tempat penyimpanan tulisan, kebiasaan saya selalu khilaf hapus data, terlalu kelincahan shift+alt+delete tanpa liat jelas data apa yang akan dihapus seperti baru-baru ini, niatnya cuma hapus 1 album lagu malah 1 folder All Songs yang terhapus (hasil donlotanku…hiks). Alasan baru memposting yaaa karena kudet, gaptek, sok sibuk dan memang gak pernah nge-cafĂ© buat wifi-an, selama ini cuma pakai paket data internet android yang buat browsing aja cukup lemot,gan…yang penting murah, :P. (PS: info yang terkandung dalam tulisan ini sudah diyakini tidak update, bisa-bisa tidak valid dengan keadaan sekarang, ah..yang penting posting baru di blog saya yang sudah penuh jaring laba-laba, hhe). Okkeh kembali ke laptop, this my trip my adventure :D cekidot…

Sore itu juga pengajuan cutiku diapprove sama bos, dengan hari sebelumnya baru beli tiket berangkat di agen tiket pelni terdekat, di pinggir sungai Pangkep, beda 20rb dari harga tiket di web.

Pulang kantor, balik ke rumah dulu ambil tas terus bareng Ayu ke Makassar, lebih tepatnya nebeng sampai di Daya. Jam 7 malam baru start ke Maros, mau nongkrrong dulu disana sebentar terus start ke rumahnya Widya di Daya jam 21.30. Nunggu Widya habiskan satenya dulu trus cuss ke pelabuhan jam 22.30 by pete-pete to MTC, singgah di Indomaret beli cemilan cepuluh trus naik taxi, kena 15rb daripada jalan kaki yess, lumayan tuh jauhnya dari MTC ke pelabuhan dengan ransel gemuk. Tiba di pelabuhan jam 23.30, disana menunggu dulu di ruang tunggu, jam 01.30 kapal sudah merapat. Nunggu penumpang turun dan ngantri masuk kapal, jam 02.00 saya dan Widya sudah di dalam kapal. Dan ternyata jadwal berangkat kapal jam 03.00 tapi kenyataannya jam 05.00 baru jalan, itu juga taunya paginya dari penumpang yang lain.
    
Olraik, dimulailah kehidupan kelas ekonomi kami di kapal Umsini, ini pengalaman pertama ane naik kapal laut, kalau Widya katanya sudah tapi waktunya dianya masih bocah n bukan kelas ekonomi bareng Bapaknya dulu. Yess, btw ,intinya pengalaman pertama kami di usia dewasa kami,hhe. Dan kami dapat kamar di dek 2, dan kami hanya bisa melongo, mau ngapain, gak ada alasnya, ada penjual sarung lewat, harganya 50rb/lembar, alamak.. gak jadi deh trus bapak penjualnya saranin beli tikar aja. Lewatlah si penjual tikarnya, harga per lembarnya 10rb, ditawar 15rb untuk 2 lembar, langsung mau si Bapaknya, ya iyalah pasti ini harganya lebih murah, mana ni tikar bekas orang lain n exactly kagak dicuci2. Okeh, yang penting ada alas, dan setelah itu banyak penumpang yang singgah ke gubuk kami, ada keluarga kecil, Bapak Ibu dan satu anaknya hendak sekamar dengan kami, tapi tidak lama si Ibu ngomel2 tempatnya panas jadinya mereke get out dengan barang bawaan yang seabrek, kita sih kasihan sama Bapaknya yang bawa barang2nya kesana kemari.

Terus ada juga 3 orang anak muda gak tau orang mana, ala2 papua gitu deh, merokok dan ribut juga, lihat2 gubuk kami dari luar, saya berdoa semoga mereka mengurungkan niat mereka buat gabung di tempat kami. Okkeh, mereka ngoceh2 gak jelas dan pergi, fiuuh… Nah, ini teman kamar kami yang sesungguhnya, ada 1 keluarga, 2 Ibu , 1 gadis dan 1 pemuda tapi si pemudanya lincah jadi tidurnya bisa dimana aja. Trus datang lagi 1 gadis dan sepupu lelakinya yang saking gak dapat tempatnya katanya mau bayar, yaelah g usah bayar2, selagi masih ada tempat yang lowong, sok atuh. Jadilah kami bertujuh dalam salah satu kamar di sudut dek 2 ini.

Gerbang Welcome To Kelimutu National Park

Resiko ngambil tiket ekonomi ya fasilitas umumnya harap maklum seperti Kamar Mandinya, saya ngerasa rakyat jelata banget, jorok, bau pesing, de el el. Dan sepertinya bagus buat kami-saya dan Widya- untuk puasa deh soalnya  gak ada yang mau ambil jatah makan siang & makan malam, gak selera dan terlebih Widya, doi gak mau makan supaya gak BAB, malas banget nyetor di WC nya, pipis aja dia jarang. Jadinya cuma ngemil mana si teman kamar yang 2 ibu n 1 gadis ini banyak cemilannya, kitanya berbagi, malamnya si tante yang satu baik banget kasi kita Pop Mienya-makan juga,hhe-. Dasar pengalaman pertama, gak ada preparenya, udah tau di kapal bakal 1 hari 1 malam, yang dibawa cuma makanan ringan. Ga seperti teman kamar kami, mereka udah sering naik kapal, udah bawa buras, telur rebus, termos dkk nya dan memang perjalanan mereka lebih panjang dari kami, tujuan mereka ke Kupang. Harusnya emang gitu karena harga barang2 di kapal bakal lebih mahal 2x lipat dari harga normal,cing.

Yuhuu…, jam 24.00 kapal merapat di Maumere, setelah berterima kasih n say good bye sama teman kamar kami yang udah baik banget sama kami, saya dan Widya turun kapal berdesak2an sama penumpang lain, banyak yang ngomel2, disuruh sabar supaya antrian gak macet. Dan pas lagi ngantri turun ini, kita ngobrol sama Bapak yang tujuannya melewati tujuan awal kami,di Ende, Bapaknya mau ke Bajawa, kami mau gabung 1 mobil dengan rombongannya si Bapak. Karena salah satu dari rombongan Bapak ini belum turun dari kapal jadinya kita menunggu beliau di pelabuhan, gilak ada hampir sejam ditungguin… Saya sama Widya juga was-was soalnya semua rombongannya laki-laki semua. Di tengah kewas-wasan itu, kami sambil bisik-bisik diskusi bagusnya gimana, eh ada junior kampus kami lewat. Langsung dipanggil dan kaminya langsung curhat, kata si Ismail, hati-hati sama orang sini dan Ismail nawarin nginap dulu di rumahnya, besok paginya baru start lagi. Dan kami pun menghadap ke Bapak tadi, melapor kami tidak jadi ikut dengan rombongan mereka dengan alasan sudah ketemu sama teman.

Bagus juga tawaran Ismail buat nginap dulu di rumahnya, tapi sebenarnya kami mau buru dapat subuh di Danau Kelimutu, mau lihat sunrise disana. Oia, si Ismail, aslinya bukan orang Maumere, keluarganya juga pendatang, mereka tinggal di perkampungan muslim di Maumere. Nah, setelah menimbang-nimbang, kami putuskan untuk langsung jalan saja buat hemat waktu juga. Untung ada sepupunya Ismail yang kenal sama polisi pelabuhan sini, dibantulah cari mobil yang bisa dipercaya bawa kami ke tempat tujuan kami. Jam 02.00 subuh start naik travel (mobil carteran) setelah deal dengan drivernya 250rb/org diantar sampai ke Ende tapi sebelumnya singgah di Danau Kelimutu n ditungguin pastinya. Sebelumnya dapat driver yang nawarin 300rb/org dan udah gak mau turun, sebenarnya mau nawar 100rb/org tapi ntar kita digetok lagi kepalanya, soalnya ada info dari teman kami yang pernah kerja disini, dia dapat mobil harganya segitu sampai ke Ende.

Eh belum jauh keluar dari gerbang pelabuhan, ban mobil kempes. Ada 30 menitan nungguin ganti bannya. Jam 03.40 singgah di pinggir jalan, si driver capek dan mau tidur dulu, langsung ngorok dia mana pakai acara gak bilang-bilang jadinya awalnya kita bingung kenapa berhenti. Jam 05.40 lanjut lagi dan gak lama setelah mobil jalan pas di belokan liuk-liuk, barang di atas mobil jatuh, meeen… yaahh, packing ulang lagee, ada 30 menit sampai beres n lanjut jalan lagi jam 06.10.

Kain Tenun Khas Flores

Jam 08.00 sampai di kaki gunung Kelimutu, sebelumnya singgah beli tiket di pos sebelumnya. Dari pos pembelian tiket sampai ke kaki gunungnya lumayan jauh dan terlihat beberapa bule jalan kaki, ebuset dasar bule. Dari kaki gunung sudah ada jalan setapak sampai ada papan penunjuk arah ke Danau Kelimutunya. Di perjalanan banyak ketemu sama monyet-monyet-yah hati-hati saja sama tasnya sama barang bawaan, bisa dicopet kita-. Sama ada yang paling lucu, ada yang sambil gendong anaknya di depan perutnya like a kangaroo. Hmm, dari awal jalan sampai ke Triangulasi dan take some pictures ada ngambil waktu sejam an lah. Tapi sumpah pemandangan di sini kereeennn banget. So Amazing! Di triangulasinya malah ada yang dagang, ckckc, jauh amat jualannya, hhe.

 Bersambung ke part 2...